Senin, 04 April 2011

Hidup dari Bubur Sumsum

“Bu saya beli buburnya 5 dibungkus.”

“Oh iya sebentar ya Mas.”

Bubur sumsum itu terlihat lezat dengan berbagai macam isian yang menggiurkan. Isian yang lazim adalah sumsum (dari tepung), mutiara (bentuknya seperti mutiara berwarna merah), ketan hitam, dan kacang hijau. Harganya terjangkau bahkan mungkin sangat murah hanya Rp. 1000,-. Ibu itu sudah lama mangkal di area Jalan Sigura-gura Malang tepatnya di depan Masjid Al-Muhajirin Malang. Aku emang berlangganan bubur sumsum itu. Jika ada waktu aku kesana dan membelinya untuk sekedar kudapan pengganjal perut. Menariknya aku memdapat pelajaran baru dengan mendengarkan percakapan antara salah seorang ibu yang menanti jemputan setelah menikmati bubur sumsum nan menggugah itu dan penjual tersebut. Kira-kira seperti ini percakapan mereka

Ibu pembeli: Sudah lama berjualan di sini bu?

Ibu penjual: Wah sudah lama Bu mulai tahun 1997. pokoknya setelah bapaknya anak-anak “nggak ada” saya langsung berjualan disini.

Ibu Pembeli: wah sudah lama ya Bu.

Ibu Penjual: Iya Bu, anak saya 4 semua saya biayai dengan jualan bubur ini kok Bu.

Ibu Pembeli: mulai jam berapa berjualan disini bu?

Ibu Penjual: Mulai dari jam 7 sudah di sini tapi menyiapkannya mulai jam 3 pagi Bu nanti pulang kalau ndak siang ya sore jam 3.

Ibu Pembeli: Nggak capek bu?

Ibu Penjual: Nggak bu wong daripada tiduran di rumah malah bosan. Tapi menyiapkannya nggak berat soalnya bahan-bahan belinya nitip anak saya yang sekarang mracang (jualan bahan pokok).

Kemudian ia sedikit menceritakan perbedaan antara berjualan sekarang dan dulu. Menurutnya saat itu daerah itu yang dekat dengan Universitas Swasta sangat ramai sehingga berkahnya juga merambat ke Ibu penjual itu. Bayangkan beliau berjualan bubur sumsum mulai dari harga Rp. 250,- dan sekarang ia menjualnya dengan harga Rp. 1000,-. Memang menurut ibu itu keadaan sekarang sepi dibanding dulu dan nggak semua mahasiswa suka bubur mungkin. Tapi yang membuat salut adalah ibu penjual itu mampu menghidupi keempat anaknya hanya dengan berjualan bubur. Beliau tidak berjualan di warung tapi hanya gerobak kecil berwarna biru muda dengan kaca di keempat sisinya agar apa yang di jualnya terlihat. Aku sendiri hanya memperhatikan cerita ibu itu dengan seksama dan terkadang tersenyum kecil. Hari ini aku belajar sesuatu lagi dari sebuah jalan-jalan santai di pagi hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar