Sabtu, 21 November 2015

Cerpen: Celengan Ayam




Aku menatap lamat-lamat dua celengan ayam yang ada di kamar ku ini. Kalau melihatnya, aku selalu tersenyum kembali. Memori ku pasti akan kembali kepada kenangan 3 tahun lalu. Kala itu, aku merasa siap untuk menikah. Karena itu aku memutuskan untuk melihat lelaki dalam sisi yang serius. Tentang masa depan. Beberapa lelaki memang sempat mengajak ku untuk serius menuju jenjang pelaminan. Mereka menggunakan berbagai trik untuk menarik perhatian dan tentu saja meyakinkan aku. Sayangnya, aku masih kurang sreg dengan mereka sehingga aku menolak mereka. Tentu aku mencoba menolak mereka dengan sopan agar mereka tak sampai kecewa terlalu dalam.
 Sampai suatu hari muncullah Zen. Lelaki ini adalah teman semasa SMP dulu. Kami bertemu kembali saat acara reuni. Setelah pertemuan di reuni itu, aku tahu bahwa Zen juga masih sendiri. Kami mulai bertukar nomor telepon dan akhirnya akrab kembali.
“Aku boleh ke rumahmu hari ini?”
SMS singkat itu membuat jantung ku berdegub tak karuan. Entah ada angin apa sampai Zen ingin berkunjung ke rumah. Aku tak langsung menjawabnya.
“Memang mau apa ke rumahku?”
Aku mengirim SMS balasan itu dengan wajah tak karuan. Sebenarnya SMS itu hanya basa-basi saja untuk mengulur waktu sambil memikirkan jawaban yang tepat.
“Aku hanya ingin bertemu dengan kamu dan kalau ada orang tuamu. Aku lama tak jumpa mereka.”
Saat SMP dulu, Zen memang sempat ke rumahku. Saat itu, kami harus mengerjakan tugas kelompok. Karena Zen pandai melucu, orang tuaku menjadi mengenalnya selama kerja kelompok. Sayangnya setelah lulus SMP, kami hilang kontak hingga bertemu kembali di acara reuni itu.
“Baiklah kalau begitu, jam berapa?”
“Sekarang, aku sedang dalam perjalanan.”
Aku tersentak. Apa-apaan Zen ini! Aku belum mempersiapkan apapun untuk menyambut kedatangannya. Aku mencoba menenangkan diri, lagipula ia datang hanya sekadar ingin main dan bertemu orang tuaku.
Benar saja, setelah beberapa menit, aku mendengar suara sepeda motor berhenti di depan pagar rumah. Ku sibak tirai jendela ada lelaki celingak-celinguk di luar pagar. Benar itu Zen! Bel rumah berbunyi. Aku diamkan saja. Bel berbunyi lagi.
“Loh, ada tamu kok nggak dibukakan pintu?” Suara ibu mengejutkan aku.
“Ehm…ini baru mau aku bukakan pintu, Bu.” Jawabku ragu.
Ibu ikut-ikutan penasaran dengan lelaki yang memencet bel itu. Ibu menyibak tirai jendela kemudian mengernyitkan alisnya bertanya-tanya siapa lelaki di depan pagar rumah itu.
“Siapa sih itu, Nak?” Ibu bertanya tanpa memalingkan muka dari Zen.
“Ibu masih ingat Zen? Temanku waktu SMP yang anaknya lucu itu, Bu.” Tiba-tiba aku menjelaskan dengan antusias.
“Oh, Zen itu! Wah sudah terlihat dewasa ya dia sekarang. Buka pintunya.” Wajah ibu sumringah setelah berhasil mengingat siapa itu Zen.
“Mau minum apa ini, Nak Zen? Sudah ngobrol lama kok airnya nggak ada.”
“Tidak usah repot-repot Bu, saya masih kuat nahan hausnya, tapi air putih juga boleh.” Zen tersenyum. Sunggingnya itu masih tak berubah sejak SMP, bahkan candaanya.
“Ah, Nak Zen ini masih tetap lucu seperti dulu. Ibu tinggal sebentar.” Suasana jadi hening saat ibu berlalu.
“Tadi kesasar?” Aku mencoba memulai pembicaraan.
“Masa ke sini aja kesasar. Kesasar dikit.” Zen mencoba mencairkan suasana.  
Zen membuka tasnya, kemudian mengeluarkan satu bungkusan besar. Rupanya, bungkusan itu adalah  celengan ayam dari tanah liat.
“Ini maksudnya apa?” Aku mengernyit penasaran.
“Jadi begini, selama ini aku rutin mengisi celengan ayam ini. Semakin hari, tidak asyik rasanya mengisinya sendirian.” Ia menjelaskan dengan sunggingnya yang khas.
“Lalu?” Aku semakin terheran-heran dibuatnya.
“Lalu, apakah ada kemungkinan kalau kau mau mengisi celengan ayam ini bersamaku? Ya, mungkin ini terdengar sangat kuno, tapi aku menyukainya dan hasilnya lumayan. Tentu akan lebih asyik jika kau mau menikah dengan aku dan mengisi celengan ayam ini bersamaku.” Zen mulai serius di tengah gurauannya.
Dari gerak-geriknya aku tahu saat ini ia sedang menutupi rasa tegangnya. Aku terdiam selama beberapa detik. Aku tak tahu harus berkata apa. Zen menatapku sebentar.
“Kau tak harus menjawabnya hari ini. Pikirkan saja dulu, tapi usahakan jangan terlalu lama. Ini untukmu saja, sebagai kenangan.” Ia kembali tersenyum.
Malam harinya aku tidak bisa tidur hanya gara-gara celengan ayam pemberian Zen itu. Pikiranku meracau. Aku belum bisa membayangkan bagaimana rasanya mengumpulkan uang bersama seorang suami. Aku memang pernah melakukan ini, aku punya celengan, tapi itu aku lakukan tanpa memikirkan mengenai biaya listrik, makan, air, dan lain sebagainya. Tapi, sepertinya sihir celengan ayam Zen sudah mengenai aku. Parahnya lagi, sepertinya ibu menunjukkan sinyal mendukung apa yang dilakukan Zen. Ya, akhirnya cara kuno ini lebih menarik perhatian ku. Jadilah aku menerima pinangan dari Zen.
Kami memutuskan untuk menyimpan dan membingkai celengan ayam pemberian Zen waktu itu. Bahkan, aku menyuruh Zen untuk melengkapinya dengan tanggal pernikahan kami. Aku meletakkannya di kamar kami. Setelah itu, Zen membelikan aku celengan ayam baru untuk mendampingi celengan ayam miliknya.
Sangat lucu! Selayaknya anak kecil yang belajar menabung, kami mengisi celengan ayam tersebut selama ada kesempatan. Setidaknya, Zen membuktikan apa yang ia katakana sebelum menikahiku dulu. Jika ada uang lebih dan Zen tak membutuhkan apapun, ia langsung memberikannya padaku atau memasukkannya ke celengan ayam kami.
Rupanya, mengisi celengan ayam itu tidak mudah apalagi dengan banyak kebutuhan dan harga yang melonjak. Belum lagi, rumput tetangga lebih hijau. Ada kalanya, aku ingin membeli barang-barang seperti tetanggaku tapi komitmen untuk mengisi celengan ayam seperti membelenggu.  Kadang aku sedih, marah tapi tentu saja lebih banyak bahagia. 
Zen sering memberikan kejutan sederhana. Baginya kejutan tak harus mahal. Kadang ia pulang dan membelikanku seikat bunga sedap malam, bunga favoritku. Di waktu yang lain, ia juga pulang sembari membawa sekotak martabak manis atau makanan-makanan lainnya. Semuanya itu favoritku dan tidak terlalu mahal. Jika sedang ingin menyuruhku memasak sendiri, Zen tak segan ke pasar kemudian membeli beberapa bahan.
“Nah, kamu aku tantang untuk memasak dari bahan-bahan ini.” Ia menyeringai seakan aku tak akan bisa memenuhinya.
“Kamu tunggu dengan tenang, kau bakal ketagihan dengan masakanku.” Gurauku.
Kami juga punya pekarangan kecil di rumah. Kami memutuskan untuk menanam beberapa tanaman produktif. Jadi, jika ada bumbu yang terlupa kami tinggal memetiknya saja. Sangat menyenangkan dan hemat. Semua itu membuat aku bahagia dan beruntung telah memilih Zen sebagai suami.
Tak mengherankan juga jika  celengan ayam kami harus berganti beberapa kali sebelum terisi penuh. Kami terpaksa memecahkannya sebelum terisi penuh. Kadang kebutuhan memang tidak terduga dan kami memerlukan uang.
“Celengan baru itu artinya semangat baru.” Zen selalu menghiburku saat aku merasa tak rela memecahkan celengan ayam kami yang belum penuh. Ya, benar saja, saat celengan ayam berganti seperti ada semangat baru untuk mulai memenuhinya kembali.
Aku kembali tersenyum mengingat semua kenangan itu. Tidak bisa dipungkiri, kebiasaan Zen menyimpan uang di celengan ayam memberi dampak positif. Setelah menikah, kami tak begitu kerepotan dengan barang-barang remeh temeh. Lemari pakaian yang ada di kamar kami ini salah satu contohnya. Lemari itu hasil jerih payah Zen mengumpulkan uang dalam celengan ayam. Begitupun setelah menikah, uang di dalam celengan ayam bisa digunakan untuk banyak hal. Kalaupun tidak kami butuhkan, kami memilih untuk menyimpannya di bank dan memulai cerita baru untuk memenuhi celengan ayam kami. Ya, selalu banyak cerita unik dibalik kebiasaan kami menabung di celengan ayam. Itu membuat kehidupan kami lebih berwarna.
Aku tersentak. Aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Rupanya itu Zen. Ia baru saja pulang kerja. Keasyikkan mengenang masa lalu membuat aku lupa waktu.
“Wah-wah, istriku yang cantik memandang celengan ayam. Mau dipecah lagi nih, ceritanya?”
            Aku menggeleng tak membuka mulut.
“Terus? Kamu kenapa?  kok diam aja? Tetangga kita beli barang baru lagi ya.” Selorok Zen.
Aku tetap menggeleng dan tak mengeluarkan suara. Zen semakin heran dan khawatir.
“Lantas kenapa?”
“Justru, sepertinya besok kita harus membeli celengan ayam baru, nih.” Aku mulai membuka suara sambil menahan tawa melihat wajah Zen yang kebingungan.
“Untuk apa? yang itu belum penuh semua.” Zen menunjuk celengan ayam yang baru terisi setengahnya.
Aku tunjukkan testpack yang tadinya kusembunyikan dibelakang punggungku. Zen menatapnya penuh perhatian, kemudian senyumnya mekar. Ia seperti tak sabar untuk membeli celangan ayam baru besok. 

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com




Biodata Penulis

Andri Surya P, penulis asli Malang. Novel fabel terbaru penulis berjudul “Petualangan Leon” (Nulisbuku, 2015). Coretan lainnya dapat dilihat di www.sangsurya-andrisurya.blogspot.com atau www.bukubukuseru.wordpress.com. Penulis bisa dihubungi melalui email andrimenulis@gmail.com, Facebook dengan nama akun Andri Surya.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar