Minggu, 28 April 2013

Bertabur Puisi di Pertemuan Komunitas Malang Menulis Ke-4

Apa yang terlintas di benak teman-teman semua saat mendengar kata puisi? Nah, topik inilah yang didiskusikan pada pertemuan Malang Menulis yang ke-4 (28/04/2013). Saya coba ceritakan pengalaman mengikuti acara hari Minggu tersebut. 

Pertemuan ini dimulai sekitar pukul 09.30 WIB dengan pemateri Mas Sugeng. Pemateri yang menyebut dirinya penyuka puisi mengawali dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan di atas. Setelah dijawab oleh beberapa peserta, pemateri melanjutkan dengan membacakan beberapa karya puisinya sekaligus membahas mengenai intepretasi puisi-puisi tersebut. Masalah intepretasi memang sangat menarik untuk dibahas karena faktanya setelah puisi di-publish maka akan terjadi multi intepretasi. Saya saja seringkali kesulitan untuk mengintepretasikan puisi yang mendekati dengan maksud penulis puisi tersebut.

Salah satu ketakutan penulis muda untuk menulis puisi adalah karena faktor diksi. Untuk hal ini, pemateri memberikan penjabaran bahwa penekanan puisi itu berbeda-beda. Ada yang memang ingin menulis puisi dengan menekankan pada diksi yang indah (nyastra banget). Ada pula yang menekankan pada makna atau pesan dari puisi itu sendiri dengan diksi yang mudah dipahami. 

Kalau bicara soal puisi saya jadi teringat masa kuliah. Saat itu, bisa dibilang saya sangat sering menulis puisi, bahkan saya punya 1 buku khusus untuk corat-coret meskipun tidak saya publikasikan atau kirimkan karena isinya curtahan semua hehe. Pojokan tangga kampus atau sekitaran green grass menjadi tempat “keramat” untuk menuliskan kalimat-kalimat yang disebut puisi tersebut. Kalau saya sih cenderung menggunakan kalimat yang biasa-biasa saja karena memang kemampuan diksi masih kurang. Selain itu, saya juga jadi ingat materi kuliah dulu termasuk salah satu dosennya (jadi inget Grandma hehe). Setelah lulus, saya jadi fakum menulis puisi dan pertemuan Malang Menulis kemarin membawa memori-memori lucu tersebut dalam ingatan saya. 

Kembali pada soal intepretasi, memang pembaca bebas memberikan intepretasinya tetapi menurut saya juga harus mendekati dengan apa yang mau disampaikan penulis puisi tersebut (kalau memang mau menyampaikan sesuatu). Kita ambil contoh kemarin, setelah Mas Sugeng membacakan salah satu puisinya, peserta diminta untuk mengintepretasikan puisi tersebut. Ternyata, intepretasinya jauh (bukan salah) dari apa yang dimaksud oleh penulis. Nah, pertemuan-pertemuan semacam ini menjadi menarik karena intepretasi sesungguhnya bisa didapatkan dari penulisnya langsung kecuali penulisnya sudah tidak ada atau meninggal. 

Pertemuan kali ini juga membahas sedikit mengenai sisi industri buku-buku puisi yang dipicu oleh pertanyaan dari salah satu peserta. Di akhir pertemuan, peserta diminta untuk menuliskan puisi yang kemudian dibacakan. Ini dia karya saya kemarin.

Kebaikan berbuah ribuan lantunan doa
Tak ada kata
Tak ada isyarat
Engkau hilang
Hanya kebaikan yang berbuah ribuan lantunan doa
Tapi
Ada mereka
Ada dia
Yang membuat engkau yang hilang menjadi tetap ada

Seperti itulah coretan saya kemarin, puisi ini awalnya hanya sebaris status di facebook saya yang saya teruskan menjadi puisi. Puisi ini sendiri terinspirasi dan saya buat untuk mengenang Almarhum UJE.

Nah, bagi teman-teman yang ingin mengikuti pertemuan Malang Menulis dan berdiskusi bersama silakan datang karena pertemuan akan diadakan tiap bulan dengan tempat dan materi yang berganti-ganti.