Rabu, 25 April 2012

Genre yang Gue Banget

        Kalau saya bicara soal judul di atas jadi agak gimana gitu. Bukan apa-apa, saya masih anak bawang di dunia penulisan tapi tetap saya ingin belajar dan terus belajar. Postingan ini sebenarnya berkaitan dengan diskusi singkat saya bersama rekan penulis (thanks sedikit sharingnya Mbak Prima Sagita). 

        Jadi, diskusi berawal dari tanya jawab tentang dunia menulis gitu deh. Saya tanya ke Mbak tersebut apakah genre tulisan gokil itu sudah passion-nya. Dalam grup itu sendiri Mbak yang satu ini dikenal dengan tulisan-tulisan gokilnya. Lalu saya lanjutkan dengan pertanyaan apakah genre itu “gue banget”. Dia sempat bingung menjawabnya karena suka juga nulis yang nggak gokil. Tapi, pada akhirnya dia tentukan bahwa nulis gokil itu “gue banget”. Menurut saya sih, menetapkan genre yang gue banget dalam menulis itu perlu supaya kita fokus. Dengan terus berlatih menulis genre itu kita akan semakin ahli dan lebih dalam saat menceritakannya. Untuk tahap awal atau pencarian jati diri kita bisa deh kesegala penjuru genre. Semakin sering kita nulis akan terlihat yang mana genre kita sebenarnya dalam artian kita lebih menikmati proses menulis genre tersebut dibanding genre yang lain. Ya, seperti Mbak Prima yang menganggap bahwa tulisan gokil adalah tulisan yang “gue banget”.

        Lalu, iseng-iseng saya tanya deh diri sendiri “Terus genre yang gue banget apa?” wah...wah.. bingung juga saya nih jawabnya. Sebenarnya sih saya masih meraba-raba. Awalnya, seneng banget bikin tulisan atau cerpen-cerpen yang menginspirasi yang berdasar kisah nyata tapi kayaknya belum gue banget. Akhirnya saya pikirin dalem-dalem apaan ya genre yang pingin saya tekuni? Penyelidikan diri sendiri pun dimulai. Awalnya dulu waktu konsultasi cerpen saya buat cerpen berjudul “Aku dan Kemat”. Ini ceritanya manusia dan monyet (lihat di sini). Lalu cerpen yang masih berjuang di salah satu ajang lomba menulis cerpen juga sama itu manusia sama kuda. 

Lebih jauh lagi, saya suka banget nonton film-film animasi yang “kehewan-hewanan” (bahasa yang aneh). Yang paling membekas itu film aminasi yang judulnya “The Lion King” (yang saya tonton sama temen-temen waktu kecil sampai nangis-nangisan segala pas bapaknya mati). Terus saya juga seneng lihat film animasi lain yang agak baruan dikit kayak “Happy Feet” atau “Dinosaur”. Bahkan saya seneng lihat film-film dokumenter yang berbau-bau hewan. Satu lagi, secara tidak saya sadari desain blog ini pun juga penuh dengan hewan (teliti lagi deh).

        Wah! sepertinya saya agak sedikit mendapat pencerahan soal genre yang gue banget. Fabel! Ya.... Fabel! Sedikit bocoran saya sendiri sedang menggarap novel fabel sih sebenarnya yang belum tahu kapan selesainya tapi pasti akan saya selesaikan!

        Nah, sudah dapet genre tulisan yang gue banget belum? Kalau sudah maka teruskan! Semangat! Tapi kalau belum ya....terus mencari dan mencari. Ikut lomba dari berbagai genre, cari kecenderungannya atau selidiki diri sendiri seperti saya gitu. 

Sisanya ya terus menulis dan membaca!

Rabu, 18 April 2012

Geliat Musik Anak di Indonesia

Jika berbicara soal realita musik anak di Indonesia, maka dapat dikatakan bahwa gaungnya sudah berkurang. Di era tahun 90-an, banyak sekali artis cilik seperti Trio Kwek-Kwek, Agnes Monika, Joshua, Sherina, dan Bondan Prakoso. Musik dengan lirik yang sederhana dan lugu adalah ciri khas lagu anak-anak di era tersebut. Contohnya, bondan prakoso dengan si lumba-lumba atau Joshua dengan diobok-obok. Di samping itu, generasi pencipta lagu anak juga mulai berkurang. Jarang sekali kita temukan pencipta lagu anak seperti AT Mahmud, Ibu Sud, dan Papa T. Bob.

Tidak bisa dipungkiri bahwa trend sangat berpengaruh terhadap selera pasar termasuk selera musik anak-anak. Untuk membuat lagu anak di Indonesia kembali semarak maka perlu dikembangkan kembali lagu-lagu anak yang mengikuti jaman. Dulu, karena memang lagu anak-anak sedang trend maka saat melihat televisi mereka akan melihat lagu-lagu tersebut terus-menerus. Sama halnya dengan saat ini, dimana hanya acara musikal orang dewasa yang selalu ditayangkan di televisi seperti band dan boyband dan girl band, maka anak akan cenderung mengikuti trend tersebut.

Jika kita tidak mampu menghadirkan kembali musik anak-anak yang populer di tahun-tahun yang lalu, maka ada baiknya kalau musik anak pun mengikuti perkembangan zaman. Beberapa solusi yang sudah ada perlu dimaksimalkan, diantaranya:

1. Regenerasi Penyanyi Cilik

Sebut saja Keisha Alvaro dan Cinta Kuya yang bisa dijadikan contoh penyanyi cilik yang menggantikan penyanyi seperti Sherina atau Bondan Prakoso. Mereka dapat disebut penyanyi cilik tidak hanya karena tubuh mereka cilik namun juga karena syair lagu yang mereka lantunkan juga untuk anak. Contohnya Keisha dengan lagunya “Emang Betul” menceritakan bagaimana orang tuanya sayang kepadanya.

2. Membentuk Penyanyi Cilik dengan Trend yang Ada

Fenomena boy band dan girl band yang semakin menggila membuat anak-anak mau tidak mau mengikuti dan mengidolakan mereka. Mengapa tidak kita buat saja boyband atau girlband cilik dengan format masa kini tentu saja dengan mengedepankan kelucuan, keluguan, dan musik yang easy listening. Sebut saja 3C yang terhitung baru.

3. Menayangkan Acara Musik Khusus untuk Anak

Saya kira saat ini acara musikal khusus untuk anak sudah tidak ada lagi. Padahal, dulu ada acara khusus anak yang sempat populer seperti Tralala Trilili yang dibawakan oleh Agnes Monica yang juga penyanyi cilik saat itu.

4. Memperbanyak Film-Film Anak Musikal

Seperti yang kita tahu bahwa ada film-film musikal anak seperti Petualangan Sherina atau Joshua oh Joshua sempat booming. Film-film tersebut menyelipkan lagu-lagu yang bercirikan anak-anak dengan kepolosannya. Film drama musikal Ambilkan Bulan ini juga langkah yang tepat untuk mendukung geliat lagu anak-anak Indonesia. Tentu saja, peran orang tua sangat diperlukan seperti mengajak mereka menonton film-film tersebut.

5. Kolaborasi Band atau Penyayi Solo Dewasa dengan Penyanyi Cilik

Untuk yang satu ini, Ada Band feat Gita Gutawa (Yang Terbaik Bagimu) atau Sheila On 7 feat Tasya (Jangan Takut Gelap) merupakan contoh yang pas untuk mempopulerkan kembali lagu anak. Tentunya, diharapkan band-band tersebut mampu mempromosikan lagu yang sesuai dengan umur anak-anak. Menggubah lagu anak lama dan dinyanyikan kembali secara kolaborasi akan menarik minat anak kembali mendengarkan lagu yang sesuai dengan usianya.

Intinya, ketika trend sudah merajai pasar dan menjadi kesukaan masyarakat maka cara di atas akan efektif untuk menghidupkan kembali lagu anak-anak sehingga mereka memiliki lagu sendiri dan bukannya menyanyikan lagu-lagu orang dewasa. Yang paling penting kita tidak melawan arus trend jika memang itu sulit untuk dilawan sepanjang itu baik. Pengemasan lagu anak yang tepat dan menarik juga menjadi penentu untuk mempopulerkan kembali lagu anak-anak di Indonesia.

Senin, 09 April 2012

Petaka Kurang Tanda Baca

Sering kali kita menganggap remeh tulisan yang sangat berpatokan pada EYD dan kelengkapan tanda bacanya karena ribet apalagi kalau dibatasi oleh karakter seperti saat SMS. Tapi jangan anggap remeh mulai sekarang (beneran deh!). Saya punya cerita unik dibalik postingan ini.

Jadi ceritanya, seorang sahabat meng-SMS saya malam-malam untuk berkumpul dan berangkat bersama ke acara resepsi pernikahan seorang teman. Sebut saja sahabat yang meng-SMS saya ini Z. Ia memberitahukan starting point tempat berkumpul. Nah, keesokan harinya sebelum berangkat, saya SMS sahabat saya yang rumahnya dijadikan starting point keberangkatan sebut saja W. Betapa terkejut karena ternyata W masih di kantor. Wah, kok aneh nih? Lalu saya coba SMS sahabat saya yang lain untuk memastikan bahwa mereka sudah berkumpul. Ternyata eh ternyata belum ada yang berkumpul bahkan ada yang bilang nggak bisa ikut karena masih kerja dan nggak mungkin ditinggalkan. Wah…wah…semakin aneh?

Beberapa menit setelah saya mengetahui fakta di atas ada SMS dari Z

“Arek-arek wis kumpul kabeh.” (anak-anak sudah kumpul semua)

Kontan saja saya meradang dan emosi. Saya sempat menganggap Z berbohong karena buktinya mereka tidak berkumpul di starting point yang direncanakan. Akhirnya saya balas SMS itu sekenanya dengan emosi tingkat tinggi apalagi acara sudah hampir selesai jika dilihat dari jam undangan.

Singkat cerita saya tancap gas langsung ke tempat acara dengan dongkol apalagi saya merasa dibohongi. Untunglah saya dan Z bertemu di acara resepsi tersebut. Tentu saja saya marah dengan kebohongan tersebut. Selidik punya selidik ternyata kalimat dalam SMS tersebut seharusnya adalah pertanyaan. Ia menanyakan hal tersebut karena dia sedang on the way ke tempat W.

”Arek-arek wis kumpul kabeh?” (anak-anak sudah kumpul semua?)

Sangat terlihat jelas kan bedanya? Pada kalimat SMS pertama jelas itu sebuah pemberitahuan bahwa anak-anak sudah berkumpul sedangkan pada kalimat SMS kedua itu sebuah pertanyaan apakah anak-anak sudah kumpul semua yang berarti si penanya nggak tahu dan butuh informasi sebagain jawaban. Tentu saja responnya akan berbeda bukan?

Gara-gara tanda ”?” saja saya hampir bermusuhan dengan sahabat saya. Jadi lebih enak jika tulisan di SMS pun jelas minimal tanda baca diikutkan juga agar tidak terjadi salah persepsi. Bagaimana dengan teman-teman? Sering mengalami salah paham semacam ini saat ber-SMS ria? ^_^