Kamis, 13 September 2012

Aku Tenang Engkau Senang

Di suatu hari yang cerah seorang pria sedang merenung. pandangannya nanar. Tubuhnya lunglai nampak tak bergairah. Raut wajahnya nampak kusut. Jika diamati, sepertinya pria ini sedang galau.
Sesosok perempuan paruh baya sekitar umur 50 tahun-an mengamati pria ini. Beberapa menit kemudian, perempuan ini tersenyum sambil mendekati pria itu.
Ibu: "Ada apa Nak? kok pagi-pagi sudah murung begitu?"
Pria: "Tidak ada apa-apa, Bu." (menggeleng)
Ibu: "Ceritakan sama Ibu, barangkali ibu bisa bantu."
Pria itupun akhirnya menyerah. Ia tahu bahwa ibunya tak bisa dibohongi apalagi melihat kondisinya pagi itu.
Pria: "Ibu pasti senang karena adik sudah bisa membahagiakan Ibu?"
Ibu: "Pastinya ibu sangat senang."
Pria: "Berarti ibu tidak bangga denganku yang masih seperti ini? Kadang aku iri bu melihat adik yang sudah bisa memberikan ibu banyak hal dan bisa lebih mandiri."
Ibu tersenyum lembut.
Ibu: "Ibu itu bangga sama semua anak ibu termasuk dengan kamu. Kalau ibu justru senang melihat salah satu keluarga ibu hidupnya senang dan berkecukupan. Dengan melihat mereka tenang dan sudah bahagia maka pasti ibu juga jadi bisa hidup tenang.
Pria: "Benar itu, Bu?"
Ibu: "Benar dong, contohnya sekarang Ibu hidupnya tenang-tenang saja kan? Nggak ada saudara yang berkeluh kesah soal ini dan itu ke ibu kalaupun mereka datang ke rumah pasti cerita soal kebahagiaan mereka. Ibu justru makin tenang."
Jika dipikir-pikir semua itu benar adanya. Melihat orang lain bahagia itu justru membuat hidup kita tenang apalagi kalau yang bahagia itu orang-orang terdekat.
Pria itu kembali merenung. Kali ini dengan wajah yang berbeda. wajahnya yang tadi kusut berubah menjadi datar dan mulai cerah. Kemudian, ia mengangguk membenarkan obrolan singkat dengan ibunya tercinta. Setelah itu, ia bergegas pergi untuk melakukan pekerjaan yang sudah ia tunda. Semacam ada semangat tambahan setelah obrolan tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar