Pria jangkung itu berdiri di dekatku. Saat melihatnya lagi,aku sempat
terhenyak dengan perubahannya. Berat tubuhnya bertambah dengan rambut
bagian atas yang mulai menipis. Dari cara berpakaiannya, aku jadi ingat
bapakku. Ia menggunakan kemeja batik hijau, celana kain hitam dan sepatu
pantofel hitam. Maklumlah, ia kembali dalam rangka acara
seminar di salah satu universitas negeri di Malang, bukan untuk liburan.
Hari ini, hari terakhir iaberada di Malang dan harus segera pulang
karena jadwal pekerjaan sudah menantinya.
Ia adalah
sahabatku semasa di perguruan tinggi dulu. Bisa dibilang, ia adalah
salah satu dari 2 saksi hidup betapa rumitnya pikiranku kala itu. Aku
sendiri tidak tahu, dulu aku sangat rumit. Masalah seperti selalu saja
membelit.
Dan hari ini, akhirnya kami kembali bertemu setelah
sekitar 5 tahun lamanya berpisah. Entahlah, aku tidak menghitung sudah
berapa lama. Jumlah itulah yang ia katakana padaku. Ternyata sudah
sangat lama tapi juga tidak terasa.
Kami ngobrol ngalor-ngidul,
terutama soal kenangan masa kuliah dulu. Soal kabar dosen-dosen kami,
gedung kuliah kami dan tentunya soal teman-teman kami satu angkatan. Ya,
rupanya tidak hanya aku dan dia saja yang berubah, tapi nyaris semua
sudah berubah.
Tentu saja, sebagai seorang yang
tahu seluk beluk ku dulu,ia pasti mengenang masa-masa yang ku anggap
agak suram itu. Panjang lebar juga kami bicara soal aku. Tapi kali ini
bukan ratapan atau keluhan seperti dulu. Tapi,hampir semua itu seolah
hanya sebuah candaan dan diikuti dengan tawa lepas. Aku sedang
menertawakan kenanganku sendiri bersama pria yang sudah mulai kebapakkan
ini.
Beberapa saat kami terdiam. Seolah kami tertegun dengan masa lalu yang sekarang nampak lucu itu. Kemudian ia nyeletuk.
“Biyen, lek dipikir-pikir koyok-koyok gak iso tenan Ndri. Tapi lek dijalani terus buktineyo iso.”
(“Dulu, kalau dipikir-pikir seperti mustahil, Ndri. Tapi, kalau dijalani terus buktinya bisa.”)
Kalimat
ini membawaku pada senyum kecil seraya mengamininya. Ia memang tahu
kalau aku seperti tak ingin melanjutkan semuanya. Sudah sangat tak
nyaman lah alasanku. Seingatku, aku mulai begitu sejak semester 2 hingga
akhirnya aku memilih sastra yang harus memisahkan kami pula dalam hal
kelas dan materi karena ia lebih memilih linguistik.
Aku tak pernah menyesal masuk perguruan tinggi itu, program studi itu juga. Itu pilihanku yang kata orang adalah passion. Tapi passion tidak
cukup karena kadang hal-hal diluar dugaan yang nyata-nyata hampir
merobohkan niatku untuk lulus dari tempatku menimba ilmu itu. Untunglah,
2 sahabatku termasuk ia, sudah memberikan dorongan terus menerus hingga
akhirnya kami selesai. Mungkin dulu mereka sudah bosan tapi untung
mereka tidakmeninggalkan aku sendirian. Terima kasih....
Sayangnya,
obrolan kami harus berakhir karena bus menuju Surabaya datang. Itu
artinya, ia harus meneruskan kehidupannya, menjadi pengajar di suatu
universitas di Purworejo. Dan aku pun begitu melanjutkan langkah dengan
banyak kenangan yang sepertinya juga membuat aku seperti sekarang. Tak
ada yang perlu disesali tapi direnungi kemudian diperbaiki.
Sampai jumpa lagi kawan dan semoga sukses untuk karirmu di sana.
Sehari bersama kenangan
27/11/2013
Tulisan ini sudah saya posting sebelumnya di note akun FB saya:
https://www.facebook.com/notes/andri-surya/tertawa-bersama-kenangan/10152002798989477
Tidak ada komentar:
Posting Komentar