Aku
menatap lamat-lamat dua celengan ayam yang ada di kamar ku ini. Kalau
melihatnya, aku selalu tersenyum kembali. Memori ku pasti akan kembali kepada kenangan
3 tahun lalu. Kala itu, aku merasa siap untuk menikah. Karena itu aku
memutuskan untuk melihat lelaki dalam sisi yang serius. Tentang masa depan.
Beberapa lelaki memang sempat mengajak ku untuk serius menuju jenjang pelaminan.
Mereka menggunakan berbagai trik untuk menarik perhatian dan tentu saja
meyakinkan aku. Sayangnya, aku masih kurang sreg dengan mereka sehingga aku
menolak mereka. Tentu aku mencoba menolak mereka dengan sopan agar mereka tak
sampai kecewa terlalu dalam.
Sampai suatu hari muncullah Zen. Lelaki ini
adalah teman semasa SMP dulu. Kami bertemu kembali saat acara reuni. Setelah
pertemuan di reuni itu, aku tahu bahwa Zen juga masih sendiri. Kami mulai
bertukar nomor telepon dan akhirnya akrab kembali.
“Aku boleh ke
rumahmu hari ini?”
SMS
singkat itu membuat jantung ku berdegub tak karuan. Entah ada angin apa sampai
Zen ingin berkunjung ke rumah. Aku tak langsung menjawabnya.
“Memang mau apa ke
rumahku?”
Aku
mengirim SMS balasan itu dengan wajah tak karuan. Sebenarnya SMS itu hanya
basa-basi saja untuk mengulur waktu sambil memikirkan jawaban yang tepat.
“Aku hanya ingin
bertemu dengan kamu dan kalau ada orang tuamu. Aku lama tak jumpa mereka.”
Saat
SMP dulu, Zen memang sempat ke rumahku. Saat itu, kami harus mengerjakan tugas
kelompok. Karena Zen pandai melucu, orang tuaku menjadi mengenalnya selama
kerja kelompok. Sayangnya setelah lulus SMP, kami hilang kontak hingga bertemu
kembali di acara reuni itu.
“Baiklah kalau
begitu, jam berapa?”
“Sekarang, aku
sedang dalam perjalanan.”
Aku
tersentak. Apa-apaan Zen ini! Aku belum mempersiapkan apapun untuk menyambut
kedatangannya. Aku mencoba menenangkan diri, lagipula ia datang hanya sekadar
ingin main dan bertemu orang tuaku.
Benar
saja, setelah beberapa menit, aku mendengar suara sepeda motor berhenti di
depan pagar rumah. Ku sibak tirai jendela ada lelaki celingak-celinguk di luar
pagar. Benar itu Zen! Bel rumah berbunyi. Aku diamkan saja. Bel berbunyi lagi.
“Loh,
ada tamu kok nggak dibukakan pintu?” Suara ibu mengejutkan aku.
“Ehm…ini baru mau aku bukakan pintu, Bu.” Jawabku ragu.
Ibu
ikut-ikutan penasaran dengan lelaki yang memencet bel itu. Ibu menyibak tirai
jendela kemudian mengernyitkan alisnya bertanya-tanya siapa lelaki di depan
pagar rumah itu.
“Siapa
sih itu, Nak?” Ibu bertanya tanpa memalingkan muka dari Zen.
“Ibu
masih ingat Zen? Temanku waktu SMP yang anaknya lucu itu, Bu.” Tiba-tiba aku
menjelaskan dengan antusias.
“Oh,
Zen itu! Wah sudah terlihat dewasa ya dia sekarang. Buka pintunya.” Wajah ibu
sumringah setelah berhasil mengingat siapa itu Zen.
“Mau
minum apa ini, Nak Zen? Sudah ngobrol lama kok airnya nggak ada.”
“Tidak
usah repot-repot Bu, saya masih kuat nahan hausnya, tapi air putih juga boleh.”
Zen tersenyum. Sunggingnya itu masih tak berubah sejak SMP, bahkan candaanya.
“Ah,
Nak Zen ini masih tetap lucu seperti dulu. Ibu tinggal sebentar.” Suasana jadi
hening saat ibu berlalu.
“Tadi
kesasar?” Aku mencoba memulai pembicaraan.
“Masa ke sini aja kesasar. Kesasar dikit.” Zen mencoba mencairkan suasana.
Zen
membuka tasnya, kemudian mengeluarkan satu bungkusan besar. Rupanya, bungkusan
itu adalah celengan ayam dari tanah
liat.
“Ini
maksudnya apa?” Aku mengernyit penasaran.
“Jadi
begini, selama ini aku rutin mengisi celengan ayam ini. Semakin hari, tidak
asyik rasanya mengisinya sendirian.” Ia menjelaskan dengan sunggingnya yang
khas.
“Lalu?”
Aku semakin terheran-heran dibuatnya.
“Lalu,
apakah ada kemungkinan kalau kau mau mengisi celengan ayam ini bersamaku? Ya,
mungkin ini terdengar sangat kuno, tapi aku menyukainya dan hasilnya lumayan.
Tentu akan lebih asyik jika kau mau menikah dengan aku dan mengisi celengan
ayam ini bersamaku.” Zen mulai serius di tengah gurauannya.
Dari
gerak-geriknya aku tahu saat ini ia sedang menutupi rasa tegangnya. Aku terdiam
selama beberapa detik. Aku tak tahu harus berkata apa. Zen menatapku sebentar.
“Kau
tak harus menjawabnya hari ini. Pikirkan saja dulu, tapi usahakan jangan terlalu
lama. Ini untukmu saja, sebagai kenangan.” Ia kembali tersenyum.
Malam
harinya aku tidak bisa tidur hanya gara-gara celengan ayam pemberian Zen itu.
Pikiranku meracau. Aku belum bisa membayangkan bagaimana rasanya mengumpulkan
uang bersama seorang suami. Aku memang pernah melakukan ini, aku punya celengan, tapi itu aku lakukan tanpa memikirkan mengenai biaya listrik, makan, air, dan
lain sebagainya. Tapi, sepertinya sihir celengan ayam Zen sudah mengenai aku.
Parahnya lagi, sepertinya ibu menunjukkan sinyal mendukung apa yang dilakukan
Zen. Ya, akhirnya cara kuno ini lebih menarik perhatian ku. Jadilah aku menerima
pinangan dari Zen.
Kami
memutuskan untuk menyimpan dan membingkai celengan ayam pemberian Zen waktu
itu. Bahkan, aku menyuruh Zen untuk melengkapinya dengan tanggal pernikahan
kami. Aku meletakkannya di kamar kami. Setelah itu, Zen membelikan aku celengan
ayam baru untuk mendampingi celengan ayam miliknya.
Sangat
lucu! Selayaknya anak kecil yang belajar menabung, kami mengisi celengan ayam
tersebut selama ada kesempatan. Setidaknya, Zen membuktikan apa yang ia katakana
sebelum menikahiku dulu. Jika ada uang lebih dan Zen tak membutuhkan apapun, ia
langsung memberikannya padaku atau memasukkannya ke celengan ayam kami.
Rupanya,
mengisi celengan ayam itu tidak mudah apalagi dengan banyak kebutuhan dan harga
yang melonjak. Belum lagi, rumput tetangga lebih hijau. Ada kalanya, aku ingin
membeli barang-barang seperti tetanggaku tapi komitmen untuk mengisi celengan
ayam seperti membelenggu. Kadang aku
sedih, marah tapi tentu saja lebih banyak bahagia.
Zen sering memberikan
kejutan sederhana. Baginya kejutan tak harus mahal. Kadang ia pulang dan
membelikanku seikat bunga sedap malam, bunga favoritku. Di waktu yang lain, ia
juga pulang sembari membawa sekotak martabak manis atau makanan-makanan lainnya.
Semuanya itu favoritku dan tidak terlalu mahal. Jika sedang ingin menyuruhku
memasak sendiri, Zen tak segan ke pasar kemudian membeli beberapa bahan.
“Nah,
kamu aku tantang untuk memasak dari bahan-bahan ini.” Ia menyeringai seakan aku
tak akan bisa memenuhinya.
“Kamu
tunggu dengan tenang, kau bakal ketagihan dengan masakanku.” Gurauku.
Kami
juga punya pekarangan kecil di rumah. Kami memutuskan untuk menanam beberapa
tanaman produktif. Jadi, jika ada bumbu yang terlupa kami tinggal memetiknya
saja. Sangat menyenangkan dan hemat. Semua itu membuat aku bahagia dan
beruntung telah memilih Zen sebagai suami.
Tak mengherankan juga jika celengan ayam kami
harus berganti beberapa kali sebelum terisi penuh. Kami terpaksa memecahkannya
sebelum terisi penuh. Kadang kebutuhan memang tidak terduga dan kami memerlukan
uang.
“Celengan
baru itu artinya semangat baru.” Zen selalu menghiburku saat aku merasa tak
rela memecahkan celengan ayam kami yang belum penuh. Ya, benar saja, saat
celengan ayam berganti seperti ada semangat baru untuk mulai memenuhinya kembali.
Aku
kembali tersenyum mengingat semua kenangan itu. Tidak bisa dipungkiri,
kebiasaan Zen menyimpan uang di celengan ayam memberi dampak positif. Setelah
menikah, kami tak begitu kerepotan dengan barang-barang remeh temeh. Lemari
pakaian yang ada di kamar kami ini salah satu contohnya. Lemari itu hasil jerih
payah Zen mengumpulkan uang dalam celengan ayam. Begitupun setelah menikah,
uang di dalam celengan ayam bisa digunakan untuk banyak hal. Kalaupun tidak
kami butuhkan, kami memilih untuk menyimpannya di bank dan memulai cerita baru
untuk memenuhi celengan ayam kami. Ya, selalu banyak cerita unik dibalik
kebiasaan kami menabung di celengan ayam. Itu membuat kehidupan kami lebih
berwarna.
Aku
tersentak. Aku mendengar suara pintu kamar terbuka. Rupanya itu Zen. Ia baru
saja pulang kerja. Keasyikkan mengenang masa lalu membuat aku lupa waktu.
“Wah-wah,
istriku yang cantik memandang celengan ayam. Mau dipecah lagi nih, ceritanya?”
Aku menggeleng tak membuka mulut.
“Terus?
Kamu kenapa? kok diam aja? Tetangga kita
beli barang baru lagi ya.” Selorok Zen.
Aku
tetap menggeleng dan tak mengeluarkan suara. Zen semakin heran dan khawatir.
“Lantas
kenapa?”
“Justru,
sepertinya besok kita harus membeli celengan ayam baru, nih.” Aku mulai membuka
suara sambil menahan tawa melihat wajah Zen yang kebingungan.
“Untuk
apa? yang itu belum penuh semua.” Zen menunjuk celengan ayam yang baru terisi
setengahnya.
Aku
tunjukkan testpack yang tadinya kusembunyikan dibelakang punggungku. Zen
menatapnya penuh perhatian, kemudian senyumnya mekar. Ia seperti tak sabar
untuk membeli celangan ayam baru besok.
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com dan Nulisbuku.com
Biodata Penulis
Andri Surya P, penulis asli Malang. Novel fabel terbaru
penulis berjudul “Petualangan Leon” (Nulisbuku, 2015). Coretan lainnya dapat
dilihat di www.sangsurya-andrisurya.blogspot.com atau www.bukubukuseru.wordpress.com. Penulis bisa
dihubungi melalui email andrimenulis@gmail.com, Facebook
dengan nama akun Andri Surya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar