Cover Petulangan Leon (doc: pribadi) |
Bulan Oktober 2015 ini adalah bulan yang membahagiakan bagi
saya. Bagaimana tidak? Salah satu tulisan saya yang berbentuk novel akhirnya
terbit juga. Novel tersebut berjudul “Petualangan Leon”. Novel ini saya
terbitkan melalui nulisbuku.com. Novel ini adalah novel bergenre fabel. Nah,
kali ini saya ingin membagikan sedikit tips menulis novel fabel berdasarkan apa
yang saya lakukan saat menyelesaikan novel “Petualangan Leon”.
Soal Ide Mentah
“Ide itu bisa berasal dari mana saja.” Begitu kata
penulis-penulis senior. Ya, itu benar sekali! Yang paling mudah tentu ide yang
berasal dari diri sendiri. “Saya punya banyak ide tapi kok masih susah nulis?”
Begitu kata penulis pemula.
Begini! Ada ide yang masih mentah dan ide yang
sudah mulai diolah. Contohnya, saya melihat kucing berkeliaran di sekitar
tempat tinggal. Ada kucing yang mengais-ngais tong sampah dengan tampilan yang
kotor, ada kucing yang meraung-raung karena tidak mau dimandikan, ada yang diam
karena kedinginan, ada yang jalan santai, atau ada kucing yang lahap sekali
makannya. Kejadian itu bisa menjadi ide tulisan yang hebat saat diolah nanti.
Tapi, ide itu masih mentah. Saya bisa saja menuliskan:
Hari ini saya sedang jalan-jalan pagi. Saat melewati sebuah
rumah, saya mendengar suara raungan. Saya penasaran dengan suara itu. Langsung
saja saya dekati ternyata suara itu adalah suara kucing yang meraung-raung
karena tidak mau dimandikan.
Tulisan di atas ini masih terkesan mentah. Tidak terlalu
menarik, hanya semacam pengalaman saat melintas di jalan.
Lalu saya coba mengolahnya, seperti berikut:
“Gawat…gawat…saudara-saudara, orang itu akan datang lagi,
aku akan diacak-acak olehnya, dan itu menyiksaku!” Spike merinding dan
ketakutan (Petualangan Leon, hal 37).
Dari ide mentah tersebut saya mengolahnya menjadi kalimat
pendek sebuah novel fabel. Tentu rasanya lebih menarik dan akhirnya bisa
menjadi novel, bukan hanya sebaris atau dua baris kalimat saja. Lalu, saya
harus bagaimana dengan ide mentah? Tidak perlu marah kalau kita masih memiliki
banyak sekali ide mentah. Simpan saja semua kalau perlu catat. Bawa note atau
catatan saat kemanapun dan catat kejadian-kejadian menarik hari itu. Siapa tahu
nanti kita bisa mengolahnya menjadi tulisan yang keren dan siap dikirim ke
penerbit atau media cetak.
Soal Mengolah Ide
Lalu, bagaimana mengolah ide menjadi sebuah tulisan? Tentu
saja kita harus selalu mencoba hingga menemukan formula yang pas. Anggap saja
kita adalah seorang koki. Ide mentah adalah bahan-bahan memasak kita. Setelah
itu, kita harus menentukan apakah akan kita goreng, rebus, dihaluskan, dicampur
dengan apa, dan lain-lain hingga menjadi sebuah sajian yang menggugah selera.
Mengolah ide bisa dilatih dengan cara banyak menulis dan membaca.
Dengan berlatih menulis dan membaca, tentu kita akan mengetahui banyak variasi
tulisan termasuk menentukan tulisan mana yang kita anggap bagus. Jika sudah
menemukan tulisan yang bagus, kita bisa mulai mencoba menirunya tentu dengan
versi cerita kita sendiri berdasarkan ide mentah tersebut.
Selain latihan membaca dan menulis, kita juga harus melatih
kepekaan. Saya tidak akan bisa menuliskan satu kalimat novel fabel saya di atas
jika saat jalan-jalan tidak memperhatikan betapa tersiksanya kucing yang dimandikan,
betul?
Selain itu, saya juga sering melihat film animasi. Bagi saya
film animasi memiliki cerita yang menarik dan juga syarat pesan moral. Nah,
jika sudah, olah semua bahan tersebut menjadi sajian sebuah tulisan yang lebih
menarik untuk dinikmati pembaca kita.
Soal Editing
Oke, ide mentah sudah diolah menjadi tulisan dan berhasil
diselesaikan, lalu apa? Bersyukurlah terlebih dahulu karena tulisan sudah
selesai. Kemudian, rehat sejenak. kita bisa jalan-jalan, makan, atau melakukan
apapun yang kita sukai. Biarkan tulisan tadi mengendap.
Setelah cukup istirahat, sekarang saatnya melihat kembali
tulisan kita. Ibarat sebuah masakan yang baru matang, kita sebagai pemasak
harus mencicipi terlebih dahulu sebelum memberikan kepada orang lain. Kita
harus mencari tahu kekurangan masakan kita tersebut. Sama halnya dengan
menulis, editing adalah cara kita untuk mengetahui apa saja yang masih kurang
dalam draf naskah kita itu.
Langkah pertama tentu saja self edit atau mengeditnya
sendiri. “Ah, pusing kalau ngedit sendiri, kan nanti ada editor.” Kalau kita
masih mengatakan itu, maka ada 2 kemungkinan:
- Tulisan kita adalah bukan kita banget
- Kita masih lelah
Berdasarkan pengalaman saya, self edit terasa menyenangkan
kalau genre tulisan itu adalah genre yang kita sukai sekali. Bedakan jika kita
menulis genre yang tidak kita sukai, pasti proses self edit akan terasa
menyiksa. Kita pasti merasa sayang kalau sampai tulisan yang kita buat ini
terasa jelek. Kita pasti ingin menampilkannya dalam bentuk yang paling baik apalagi
kalau kita punya cita-cita menerbitkannya. Pasti! Kita tidak ingin pembaca kita
merasa kecewa, bukan? Apalagi mereka sudah rela mengeluarkan uang untuk membeli
buku kita itu.
Selain itu masih berdasarkan pengalaman, saya merasa malas
self edit saat lelah sekali. Caranya tentu saja saya akan istirahat dan
meninggalkan tulisan saya sejenak hingga rasa kangen muncul kemudian mengedit
kembali.
Langkah kedua adalah dengan meminta tolong kepada orang lain
untuk membaca dan mengeditnya. Ya lagi-lagi ibarat masakan yang sudah kita
cicipi. Kita yakin itu sudah enak, tapi belum tentu orang lain. Nah, berikan
masakan tersebut kepada orang lain dan biarkan mereka menilainya. Usahakan
mencari teman yang bisa memberikan masukkan berharga untuk perbaikan tulisan
kita. Caranya cobalah bergabung dengan mereka yang suka menulis. Biarkan mereka
memberikan masukkan walaupun kadang agak sedikit menyakitkan dan seperti
membuat kita ingin berhenti menulis.
Bisa juga kita berikan tulisan kita kepada mereka yang hobi
membaca namun tidak suka menulis. Pilih dan pilah masukan mereka dan terapkan
pada tulisan kita sekiranya berguna. Bergabung dengan komunitas penulis menjadi
cara asyik untuk mendapatkan masukan.
Soal menerbitkan atau
mempublikasikan
Soal ini saya memang belum terlalu banyak pengalaman. Yang
saya lakukan tentu menulis sesuai dengan tips di atas kemudian mencoba
mengirimkannya ke penerbit mayor atau media saat yakin tulisan saya sudah
oke. Hal ini pun saya lakukan saat memutuskan untuk menerbitkan “Petualangan
Leon” melalui nulisbuku.com.
Selain itu, saya juga menunjukkan karya-karya saya melalui
komunitas yang saya ikuti dan teman-teman saya. Setidaknya mereka tahu seperti
apa tulisan-tulisan saya. Jika belum berani gunakan blog atau media sosial
untuk mempublikasikan. Saya memulai dengan blog. Setidaknya, dengan
mempublikasikan kita melatih keberanian secara perlahan. Senang saja rasanya
melihat tulisan terposting di blog walau blog pribadi. Setelah itu, belajar
terus dan biarkan tulisan kita ditemukan oleh mereka yang menyukainya. Ya,
begitulah menurut saya.
Soal setelah
diterbitkan atau dipublikasikan
Tentu kita harus kembali bersyukur karena itu artinya kita
sudah berkembang. Bayangkan! Kita memulainya dari ide mentah hingga akhirnya
berhasil dipublikasikan! Beri kesempatan diri kita untuk beristirahat.
Jika memang ingin dibaca lebih banyak orang tentu kita harus
menunjukkannya apalagi jika buku sudah diterbitkan secara mayor, tentu ada
target dan lain sebagainya.
Jika masih taraf mempublikasikan melalui blog,
setidaknya kita bisa membagikannya melalui akun media sosial kita. Tidak perlu
sedih atau berhenti menulis jika belum ada yang tertarik membaca. Terus saja
menulis, suatu saat nanti pasti ada yang membaca bahkan memberikan
apresiasinya!
Jadi, itulah tips dari saya berdasarkan proses penyelesaian
tulisan-tulisan saya selama ini termasuk Novel Fabel Petualangan Leon.
Gambar cover novel tersebut ada di sisi kanan blog ini. Klik saja gambarnya dan
baca sample-nya siapa tahu tertarik untuk memesannya. Semoga dari satu karya
ini, bisa lahir karya-karya lainnya.
Tak lupa ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu saya hingga Petualangan Leon terlahir.
Selamat menulis dan terus menulis!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar