Judul buku: Ajarkan Aku Cinta
Penulis: Abyz Wigati
Penerbit: LKH Production
Tahun terbit: 2012
Tebal buku: 205 halaman
Di sela-sela misi penyelesaian menu yang ada di Buku
Antologi “Bakso” Arema dari Malang Menulis yang launching tanggal 26 Januari
2014 lalu, saya mencoba melirik 2 buku lain. Salah satu yang menarik tentu saja
buku dari founder Malang Menulis Mbak Abyz Wigati. Pasalnya, saya juga ikut
bergabung dengan Malang Menulis dan ada keinginan untuk membaca karya-karya
beliau. Buku ini juga terasa spesial karena merupakan bingkisan dari awarding
Malang Menulis dimana cerpen “Pemuda dan Daun Gugur” terpilih menjadi cerpen
terbaik versi Malang Menulis.
Awalnya, saya kira bingkisan ini tertukar sama seperti
sertifikat saya yang tertukar dengan Mbak Yuyun, Koordinator Malang Menulis
terdahulu. “wah ketuker juga nih.” batin saya karena tema bukunya pengalaman
pengasuhan anak. Saya berpikir, saya
belum punya anak pun saya tidak akan menjadi ibu. Tapi setelah saya rasakan
lagi saya jadi berpikir oke coba saya baca dulu saja, siapa tahu bisa jadi
bekal kalau punya anak nanti dan bisa juga saya serahkan ke istri saya untuk
tambahan ilmu pengasuhan anak. Karena ilmu tak lengkang waktu, jadi tak ada
salahnya mengulas buku ini walaupun buku lama. Lagipula, saya baru
berkesempatan membaca sekarang.
Memandangi desain cover buku yang berjudul “Ajarkan Aku
Cinta” ini, saya teringat pelajaran menggambar waktu SD, sangat sederhana dan
khas anak-anak. Lalu, saya mulai membaca satu demi satu cerita yang disajikan
didalamnya. Setelah melewati beberapa “kasus” dalam bukunya saya berguman ibu-ibu banget
(khususnya ibu rumah tangga). Mengapa saya berguman seperti itu? karena ibu saya
pun seorang ibu rumah tangga.
Format penulisan yang berbentuk diary membuat
cerita-cerita di dalamnya ringan untuk dibaca namun berbobot dalam esensinya.
Beberapa “kasus” pun (walaupun tidak sama persis) mengingatkan saya pada masa
kanak-kanak saya. Contohnya, pada “kasus” eyang dan cucu-cucunya, mengapa harus
upacara bendera dan kemah pertama, mengasyikan?
Salah satu kasus yang menarik perhatian saya adalah cerita Ummi kok
nggak sholat?. Saat itu salah satu putra Mbak Abyz menanyakan mengenai datang
bulan. Saya sangat penasaran dengan jawaban para ibu saat pertanyaan itu
terlontar dari putra-putri mereka khususnya yang masih di bawah umur. Karena saya waktu kecil tidak sekritis itu.
Seingat saya, akhirnya saya tahu apa itu datang bulan pada saat pelajaran di
sekolah. Tapi karena anak-anak sekarang memang cenderung kritis maka jawaban
yang dilontarkan oleh Mbak Abyz untuk menyelesaikan kasus ini mungkin memang
tepat.
Paling penting menurut saya, buku ini semacam penjabaran
mengenai bekal orang tua yang seharusnya diberikan kepada putra-putri. Secara
tak langsung, Mbak Abyz dan suami ingin menularkan apa yang menjadi keyakinan
mereka pada ketiga putra da putrinya hanya saja tidak dengan cara memaksa atau
cara yang tidak mengenakkan.
Bekal itu mungkin tidak terasa bagi putra-putrinya
tapi saya yakin kelak mereka akan merasakan bahwa bekal itu sangat berguna
untuk mengarungi samudra luas kehidupan. Seperti yang saya utarakan di awal
tadi, ibu saya juga seorang ibu rumah tangga dan fokus membesarkan kami berempat.
Setidaknya sangat terasa sekali bekal yang kami peroleh dan rasakan hingga kami dewasa. Kami pun bisa lebih
enak saat bercerita apa saja kepada ibu. Bahkan, bapak saya tahu ada yang tidak beres
kalau kami justru pulang-pulang diam dan tidak bergurau dengan ibu.
Jadi, saya tutup buku tersebut dengan kesimpulan bawah buku
yang datang ke saya ini tidak tertukar. Sama seperti quote yang saya dapatkan
beberapa hari yang lalu “We don’t meet people (or books) by accident. They are
meant to cross our path for a reason." So, Insyaallah saya simpan buku tersebut
dengan baik agar kelak bisa dibaca istri saya sebagai tambahan khasanah ilmunya
sebagai seorang ibu.