Alkisah, seorang pemuda
bernama Bujang Permai berkelana untuk mengejar impiannya. Dengan bekal lidi dan
dupa yang ia dapatkan dari kakek yang hadir di mimpinya, Bujang Permai singah
dari satu tempat ke tempat lainnya.
Suatu ketika, pemuda
ini singgah di suatu desa. Bujang Permai memutuskan untuk menginap di desa
tersebut sembari melepas lelah dan melengkapi bekalnya. Malam harinya, tidur
Bujang Permai terganggu. Ia mendengar suara tangisan yang begitu miris. Pikiran
Bujang menjadi tak karuan. Apa mungkin itu suara hantu yang berkeliaran mencari
anak-anak kecil di malam hari?
“Maaf, apakah Ibu
mendengar tangisan tadi malam? Saya mendengarnya. Rasanya perih sekali
mendengar tangisan itu.” Paginya sembari menyantap makanan di sebuah warung,
Bujang memberanikan diri bertanya pada pemilik warung.
“Itu tangisan Suwidak
Loro. Sekarang ia tinggal sendirian. Ibunya baru saja meninggal beberapa bulan
yang lalu.” Kata pemilik warung sambil mengusir lalat yang berseliweran di
dekat dagangannya.
“Kenapa tidak ada yang
mencoba menenangkannya, Bu?” Bujang Permai semakin penasaran dengan gadis
bernama Suwidak Loro itu.
“Hampir semua warga
desa di sini sudah mencoba menenangkannya, tapi sia-sia saja. Suwidak Loro
tetap menangis setiap malam.” Jelas pemilik warung lagi.
Bujang Permai
menghabiskan makanannya dengan rasa penasaran tentang Suwidak Loro. Mengapa
gadis itu begitu sedih hingga menangi setiap malam? Tangisannya itu membuat
Bujang tidak tahan. Ia tak pernah bisa mendengarkan tangisan seorang perempuan.
Karena penasaran, Bujang berniat mendatangi rumah Suwidak Loro nanti malam.
Siapa tahu Bujang bisa membantu menghentikan tangis Suwidak Loro.
Saat bulan menampakkan
diri dengan sinarnya yang berkilau, Bujang Permai berjalan menyusuri jalan
desa. Ia berusaha mencari sumber tangisan. Jantung Bujang Permai berdetak makin
kencang saat mendekati pintu rumah yang sudah tampak reot itu.
“Permisi, ada orang di
dalam?” Bujang Permai memberanikan diri.
Tangisan yang terisak
tiba-tiba berhenti, kemudian terdengar suara decit pintu. Bujang Permai kaget
bukan kepalang.
“Siapa kamu? Sepertinya
kamu bukan pemuda di desa ini?” Suara lembut Suwidak Loro memecah kekagetan
Bujang.
Bujang kaget karena
gadis bernama Suwidak Loro ini berbeda dari gadis-gadis lain yang pernah ia
temui sebelumnya. Rambut gadis ini sangat tipis, hanya beberapa helai saja.
Matanya juga memerah. Agaknya itu karena ia terus menangis setiap malam.
Tubuhnya juga terlihat lusuh.
“Aku Bujang Permai,
apakah kau Suwidak Loro?”
“Ya, aku Suwidak Loro
namaku seperti jumlah helai rambutku.” Suwidak Loro sedikit malu
menjelaskannya. Bujang mengangguk.
“Bolehkah aku tahu,
kenapa kau menangis setiap malam?” Bujang langsung mengatakan maksud
kedatangannya.
“Aku menangisi hidupku
Bujang. Ibu yang kucintai, yang selalu mendoakan aku baru saja meninggal. Kini,
aku hidup sebatang kara. Doa ibuku juga belum terwujud.” Wajah Suwidak Loro
memerah menahan tangis.
“Doa apa gerangan yang
terus dilantunkan oleh ibumu wahai Suwidak Loro?” Bujang semakin penasaran.
“Setiap malam ibuku
selalu berdoa agar kelak aku mendapatkan jodoh seorang raja. Aku selalu
berpikir kalau itu tidak mungkin. Lihat saja penampilanku. Tapi ibu bilang aku
adalah gadis cantik.” Kini air mata Suwidak Loro benar-benar menetes lagi.
Hati Bujang terketuk
saat mendengar kisah hidup Suwidak Loro. Pemuda pengembara itu teringat akan
lidi dan dupa yang dimilikinya. Kata kakek yang memberikannya di dalam mimpi,
berikan sebatang lidi kepada mereka yang membutuhkan bantuan.
“Terimalah ini wahai
Suwidak Loro. Semoga saja lidi ini bisa membantumu. Bakar saja lidi ini.” Bujang menyerahkan lidi itu kemudian mohon
diri. Ia tak pernah tahu kelanjutan nasib Suwidak Loro karena harus mengejar mimpinya
sendiri.
Setelah beberapa bulan
mengembara, sampailah Bujang di sebuah kerajaan. Kerajaan itu sangat megah,
rakyatnya juga terlihat tentram dan makmur. Tapi sepertinya wajah mereka sedang
bersedih. Dari salah satu warga, Bujang tahu bahwa rupanya raja kerajaan itu
sedang sakit keras. Sudah beberapa tabib datang untuk menyembuhkan tetapi tetap
tidak ada hasil. Hari demi hari kesehatan raja semakin memburuk. Bujang tak
tega mendengar cerita itu kemudian memutuskan untuk menemui pengawal kerajaan.
“Ijinkan aku mencoba
menyembuhkan raja.” Bujang Permai berkata mantap kepada pengawal kerajaan.
Setelah mendapatkan
ijin dari orang kepercayaan raja, Bujang akhirnya diijinkan masuk. Keadaan raja
memang menyedihkan. Tubuhnya mulai kurus kering, wajahnya keriput, kulitnya
dipenuhi bintik-bintik merah. Bujang segera mengeluarkan 2 batang lidi yang
tersisa. Ia menepukkan lidi itu ke tubuh raja kemudian membakarnya. Asap dan
wangi dari lidi itu terhirup oleh raja. Ajaib! Perlahan bintik-bintik di kulit
raja menghilang. Kulitnya pun mulai segar. Sampai akhirnya mata raja terbuka
dan langsung meminta minum karena haus.
“Siapa yang berhasil
menyembuhkan penyakitku ini?” Raja bertanya terbata.
“Hamba paduka. Nama
hamba Bujang Permai.” Bujang memberi hormat kepada raja.
“Wahai pemuda aku
sangat berterima kasih padamu. Apa yang bisa aku berikan kepadamu sebagai
imbalan?” Raja antusias melihat Bujang karena berhasil menolongnya.
“Hamba tidak mengharap
apapun. Hamba hanya ingin menolong paduka saja. Hamba ini hanya seorang
pengembara.” Jelas Bujang.
“Begini saja, kebetulan
aku dan permaisuri tidak memiliki putra. Tidak ada yang mewarisi tahtaku.
Bagaimana kalau kau kuangkat menjadi putra mahkota?”
“Apa ini tidak
berlebihan Paduka?” Bujang terkejut dengan pertanyaan raja.
“Tentu tidak, kau
menolongku. Aku yakin kau adalah pemuda yang baik.” Jawaban raja sangat
meyakinkan.
Jadilah setelah hari
itu, Bujang menjadi seorang putra mahkota. Bahkan, beberapa tahun kemudian
Bujang diangkat menjadi raja. Ia memerintah dengan adil, arif, dan bijaksana.
Tidak hanya raja dan permaisuri yang suka dengan Bujang, tetapi juga seluruh
pegawai kerajaan dan rakyatnya. Hingga suatu hari, raja memberikan pertanyaan
yang mengejutkan Bujang.
“Bujang, tak inginkah
kau memiliki seorang permaisuri?”
“Tentu saja saya ingin
ayahanda, tapi apa daya hamba belum menemukan permaisuri yang ingin hamba
persunting.” Bujang menjawab hati-hati.
Mendengar jawaban itu,
raja menjadi sedih. Raja paham jika setelah menjadi pengganti tahta kerajaan,
Bujang sangat sibuk mengatur ini dan itu. Ia seperti tak memedulikan
gadis-gadis di sekitarnya. Padahal, sudah waktunya Bujang memiliki permaisuri.
Raja dan permaisuri juga ingin memiliki cucu dari Bujang.
Bujang juga tak ingin
membuat orang yang sudah mengangkatnya sebagai anak itu bersedih. Bujang
teringat dengan dupa yang dibawanya. Kakek itu memperintahkan Bujang untuk
membakar dupa itu jika membutuhkan bantuan. Bujang pun membakar dupa itu dan
seketika wangi menyeruak.
Esoknya, tiba-tiba saja
ayahanda Bujang mengadakan sayembara untuk mencari permaisuri bagi Bujang
Permai. Pengumuman disebar ke berbagai penjuru desa. Tak ayal, banyak gadis
yang datang untuk mengadu peruntungan menjadi calon permaisuri Bujang Permai.
Pemuda itu memerhatikan satu demi satu
wajah gadis-gadis yang datang. Sampai ia terhenyak karena ada wangi yang tidak
asing menusuk hidungnya. Bujang mendekati gadis itu.
“Siapakah gerangan kau
wahai gadis cantik? Aku mencium bau wangi yang sangat aku kenal.” Bujang
penasaran.
“Aku Suwidak Loro, Raja.”
Jawab gadis itu sambil malu-malu.
Betapa terkejutnya
Bujang karena Suwidak Loro sudah berubah menjadi gadis yang cantik jelita.
Rambutnya tebal dan wajahnya juga lebih cerah. Bau tubuhnya juga wangi.
“Suwidak Loro? Benarkah
itu kau? Ini aku Bujang yang pernah memberimu lidi.” Wajah Bujang menjadi
cerah.
“Bujang? Tak kusangka
kau sudah menjadi raja dan kita bertemu di sini. Sejak kau beri lidi itu.
Kejadian aneh menimpaku. Rambutku tumbuh perlahan menjadi lebat. Kemudian aku
mulai merawat diri. Anehnya muncul wangi dari tubuhku ini, wangi yang sama
seperti wangi lidi itu.” Suwidak Loro menjelaskan dengan sumringah.
Bujang merasa kalau
Suwidak Loro adalah jodoh yang dikirimkan untuknya. Karena itu, ia memilih
Suwidak Loro menjadi permaisuri. Akhirnya kedua muda mudi itu menikah dan hidup
sebagai sepasang kekasih yang bahagia dengan mimpi yang sudah mereka
dapatkan.
***
Catatan: Cerpen ini diikutkan dalam lomba menulis ulang cerita rakyat yang diadakan oleh Kampus Online Penulis Indonesia atau KOPI dengan Dosen Maya Lestari GF.
Sumber bacaan:
- Suwidak Loro (cerita rakyat Jawa, oleh Murti Bunanta)
- Bujang Permai (cerita rakyat Sumatera Barat, oleh Murti Bunanta)