(Tergabung dalam "Antologi 'Bakso' Arema")
Sangat mudah untuk
menemukan aku, kawan. Penduduk desa ini sudah mengenalku dengan baik sedari
dulu, sedari aku kecil. Jika kau tanya di mana aku berada setiap harinya, maka
penduduk dengan mudah menunjukkannya bahkan mereka sudah sangat hafal berapa
belokan yang harus dilalui sebelum menemukan aku. Sampai di tempat itu, kau
akan mendengar bunyi khas di mana penduduk desa juga sudah sangat fasih dengan
bunyi itu.
Lalu, bagaimana dengan
aku sendiri? Apa aku senang dengan semua itu? Tidak juga. Ini tahun ke lima aku
bekerja dengan berbekal sapu lidi. Ya, dari sapu lidi yang tergesek ke tanah
itulah bunyi berasal. Kau tak akan salah orang karena akulah satu-satunya yang
bekerja di sana. Mungkin, yang akan kau lihat hanyalah beberapa pepohonan
rindang serta bangunan kecil mirip gubuk. Walaupun kecil tapi bangunan itu
penting bagi penduduk. Di sana mereka sering berkumpul untuk membicarakan
hal-hal yang kadang aku tidak tahu atau bahkan membicarakan aku, tentang
keberlanjutan nasibku. Selain melihat pemandangan seperti itu, aku juga
bergumul dengan daun-daun yang berguguran setiap harinya. Pagi-pagi sekali aku
mulai mengumpulkan daun-daun berserakan itu hingga jam istirahat siang. Lalu,
aku kembali lagi mengumpulkannya hingga sore hari sebelum akhirnya aku pulang.
Begitu setiap hari, tanpa henti.
Kadang aku bertanya,
kenapa daun-daun pepohonan itu berguguran setiap hari? Itu merepotkan aku,
kawan. Akan sama saja setiap hari. Jangankan setiap hari, baru beberapa jam
saja aku kumpulkan, dedaunan baru jatuh dan itu artinya aku harus
mengumpulkannya lagi. Bosan aku kawan!
Kau tahu kawan? Sapu
lidiku ini sudah berganti beberapa kali, tapi tetap saja tak mampu membereskan
dedaunan yang berserakan. Kumpulan lidi seolah tak mampu mengalahkan sekumpulan
daun. Sesekali, setelah gundukan daun itu cukup tinggi aku bakar mereka. Puas
rasanya aku, kawan!
Sempat juga aku
berteriak dalam hati, kenapa tak Kau hentikan daun berguguran ini. Aku lelah…
Aku bosan… Apa kau pikir ini bukan pekerjaan yang sia-sia, kawan? Coba jawab
aku kawan?
***
Hari ini, seperti biasa
ku kenakan kemeja kotak-kotak berwarna biru yang sudah lusuh. Sepatu boot butut
yang warna sudah pudar menjadi pelindung kaki ku saat berkerja. Tak lupa topi
yang hanya aku cuci seminggu sekali, warnanya juga mulai pudar. Sapu lidi,
senjata wajibku yang seperti milik nenek sihir itu selalu dalam genggaman. Itulah
seragamku setiap harinya. bukannya aku tidak ingin menggantinya kawan, tapi
memang aku tak memilikinya.
Helaan nafas panjang menjadi
teman setiap paginya. Pagi ini, helaan itu semakin panjang saja. Kemarin malam,
hujan disertai angin kencang melanda desa kami. Kau bisa menebaknya kawan? Ya,
daun-daun gugur lebih banyak dari biasanya. Itu artinya, aku harus bekerja lebih lama dan lebih keras dari biasanya.
Perjalanan ke tempat
kerjaku seolah sangat jauh saja. Bagaimana tidak? Setiap langkahnya saja
gontai. Lunglai. Sesekali, warga desa menyapa. Ada Pak Tegar dengan sepeda
ontel yang dikayuhnya dengan semangat setiap harinya. Bertahun-tahun, hanya itu
kendaraannya tapi setiap bertemu ia menyapaku dengan senyumnya yang khas dengan
kumisnya yang tebal.
Ada pula Mbok Sumi,
janda tua ini memilih untuk terus menekuni pekerjaannya sebagai pedagang sayur
keliling. Kalau ditanya kenapa tidak berhenti saja, dia selalu menjawab, selama
masih kuat ya terus lalu tersenyum kemudian gusi yang sudah tak lagi bergigi
nampak.
Begitulah aku melewati
pagi sebelum akhirnya sampai di tempat aku menyapu. Benar saja kawan, daun-daun
sudah menungguku bahkan seolah mereka mentertawakan aku. Aku tak langsung
menyapu mereka, tapi duduk di sebuah batu yang memang tempatku untuk
beristirahat setiap harinya. Sejenak aku pandangi daun-daun itu. Tak lama,
seorang warga lewat. Aku buru-buru berdiri dan mengangkat sapu yang tadinya aku
geletakkan disebelahku. Mulai aku gesekkan sapu lidi ke tanah hingga daun-daun
yang tadinya bergerombol langsung tersibak. Kini seolah aku yang mentertawakan
mereka. Sudah setengah jam aku menyapu sekeliling tanah lapang ini tapi baru
terselesaikan seperempatnya saja. Kau tahu kawan? daun-daun itu mulai
mengejekku dan membuat gara-gara. Mereka berguguran lagi! Tepat di tempat yang
sudah aku bersihkan!
“Kenapa tak Kau hentikan saja guguran
daun ini! Kenapa Kau buat daun ini berguguran!” Pekik ku dengan lantang.
Wajahku menengadah ke
langit. Sapu lidi yang tadinya ku pedang erat-erat terjatuh berserak bersama
daun-daun yang belum lagi tersisihkan. Nafasku tersengal-sengal seolah beban
batin yang selama ini aku rasakan lepas tak berbekas seketika.
Aneh bin ajaib, kawan!
tiba-tiba saja ada angin yang sangat kencang menerpa tempat itu. Dedaunan yang
terserak terkumpul seketika! Bersih hanya dalam hitungan detik saja! Aku terheran-heran
dibuatnya, tapi aku senang. Bahkan, salah satu warga yang lewat memujiku karena
ia mengira aku bersemangat. Saking bersemangatnya,
pagi-pagi sekali tanah lapang itu sudah bersih dari daun-daun.
Karena hanya itu
tugasku dan sudah terselesaikan maka aku bergegas beranjak. Gerakanku lebih
lincah dan lebih bertenaga dibanding saat datang ke tempat ini. Kalau tadi
warga yang menyapaku, kini akulah yang menyapa warga, entah mereka mengenalku
atau tidak. Girang aku dengan kejadian hari ini, kawan!
***
Pagi
ini tak perlu ku ceritakan lagi padamu, kawan. Sama seperti pagi-pagi lainnya
yang telah lalu. Pak Tegar juga masih mengayuh sepeda ontel bututnya itu. Mbok
Sumi juga tiada bosan berjalan sambil berteriak-teriak menjajakan dagangan yang
ada di atas kepalanya itu. Sedangkan aku, aku harus melihat daun-daun itu lagi.
Tapi…hari
ini lebih aneh dari kemarin, kawan! kau tahu? tidak ada satupun daun yang
gugur! Ya, bahkan semilir angin seolah enggan menggugurkan daun-daun itu. Tampaknya
hari ini, daun-daun hanya ingin menempel kuat pada ranting-rantingnya. Daun
yang sudah mulai menguning dan menua pun tak kalah kuat berpegangan pada
rantingnya. Aku duduk sesaat di atas batu, menyakinkan diri bahwa ini bukan
mimpi. Aku tak buru-buru pulang, harus kupastikan dulu bahwa daun-daun itu
memang tidak gugur. Warga yang biasa lewat hanya tersenyum menyapaku, entah
mereka sadar atau tidak dengan kejadian ini.
Ternyata
ini bukan mimpi, kawan! daun-daun itu benar-benar enggan untuk gugur. Aku sudah
menunggunya selama dua jam dan tak ada perubahan sama sekali, tetap bersih. Karena
itu, aku mantap untuk segera meninggalkan tanah lapang dan pepohonan itu. Hari
berikutnya sama, kawan! daun-daun sudah mulai bosan untuk gugur. Doaku
didengar, kawan!
***
“15.000
ya? kalau nggak mau ya sudah ke orang lain saja.”
“Nggak
bisa ditambah sedikit, Pak?”
“Wah,
butut gitu loh. Harga segitu sudah bagus itu. Toko lain mana mau ngasih segitu,
gimana?”
Dengan
wajah yang masih setengah tidak ikhlas aku terima saja tawaran itu. Mau
bagaimana lagi, memang sudah butut. Itu harga radio tua milikku, kawan. Kini,
radio itu harus berkorban untuk aku. Walaupun sudah tua dan butut ditambah
suaranya yang tidak begitu nyaring tapi radio itu teman setiaku. Benda warisan
orang tuaku itu selalu menghiburku dengan lantunan nada-nada yang indah. Ia
seperti pemecah kesunyian dalam hidupku, kawan. Entah, benda-benda apalagi yang
akan aku jual besok. Mungkin saja, seragam dan sepatu butut temanku bekerja
dulu, yang masih aku kenakan ini menjadi pilihan terakhirnya. Dulu… iya…dulu,
aku sudah tidak bekerja selama dua bulan lamanya. Sampai sekarang, daun-daun
itu sudah melekat di rantingnya. Seolah mereka sudah benar-benar marah dan
besengut saat memandang wajahku dari kejauhan.
Parahnya lagi, akhirnya
warga desa menyadarinya. Suatu malam, warga berkumpul di gubuk dekat tempat aku
berkerja itu. Mereka serius sekali membicarakan nasibku selanjutnya apalagi
semenjak ada kejadian aneh ini. Percakapan berjam-jam itu menghasilkan kata
sepakat bahwa aku harus diberhentikan. Tak ada pekerjaan, maka tak perlu
membayar orang seperti aku. Jadilah aku seorang pengangguran selama dua bulan
ini. Aku mencoba mencari pekerjaan ke sana kemari tapi masih belum ada
hasilnya. Aku juga sempat pergi keluar desa dan menawarkan diri untuk bekerja,
tapi sama, hasilnya nihil!
Sehari sebelum aku
menjual radio kesayanganku, aku mencoba menengok pepohonan di tempat biasa,
tapi tetap saja. Tanpa rasa malu aku mendekati mereka. Layaknya orang tidak
waras, aku membelai lembut salah satu batang pohon itu. Aku bertanya pada
mereka dan menyuruh mereka untuk gugur. Semilir angin membelai tubuhku yang
lunglai, tapi daun-daun tidak goyah sama sekali.
***
Semakin
hari semakin mengenaskan saja hidupku, kawan. Hingga siang hari ini aku belum
juga memberi makan tubuhku yang ceking ini. Perut yang keroncongan mulai
menambah panas suasana. Tubuh rasanya merinding seperti meriang, badan lemas,
pandangan pun mulai nanar. Tak ada lagi yang tersisa di gubuk reotku, kawan.
Sapu lidi dan sepatu boot sudah aku jual minggu lalu. Itu yang terakhir!
Dengan
tenaga yang masih tersisa, aku mencoba berdiri. Aku sudah tak berpikir apapun
lagi. Lagipula, otakku sudah kacau karena lapar. Seketika itu pula aku berlari,
berlari sekencang-kencangnya. Pada satu titik, akhirnya aku jatuh tersungkur.
Aku jatuh tersungkur tepat di dekat batu dimana dulu aku duduk. Tempat dimana
aku dulu berkeluh kesah, akan jahatnya daun karena selalu berhamburan. Wajahku
pucat pasih. Nafasku makin berat. Aku sempat berpikir bahwa inilah akhir
hidupku. Bulir-bulir bening tak bisa lagi aku tahan. Semua meluap. Aku
meraung-raung sejadi-jadinya.
“Baiklah….Aku
dulu yang memintanya, maka sekarang akan aku tanggung akibatnya.” Kataku lirih
sambil mengatur nafas yang makin tak karuan.
“Tak
apa kalau kalian tidak mau berguguran, tapi setidaknya izinkan aku untuk tidur
di sini sejenak, aku sudah tidak kuat….”
Aku
mencoba menenangkan diri. Tetap tak beranjak dengan posisi tersungkur. Sesekali,
aku hapus bulir-bulir bening dari mataku yang semakin deras saja mengalir.
Sejenak, aku nikmati semilir angin yang menerpa tubuhku, dingin membuat aku
makin merinding.
Sejurus kemudian,
sesuatu menempel di lengan kananku yang masih aku gunakan untuk alas kepalaku. Aku
mencoba menengok dengan tenaga yang masih tersisa. Kembali, aku menangis
sejadi-jadinya, kali ini raut wajah haru menyertai bulir-bulir itu. Satu kata
yang terlontar dari bibir ku.
“Terima kasih….”
15/5/13
– 17/5/13
Catatan: Cerpen ini saya buat setelah melakukan rutinitas jalan-jalan santai bersama bapak setiap hari Sabtu. Kala itu, bapak melihat seorang tukang sapu yang sedang bekerja kemudian mengatakan kepada saya bahwa kita pun harus bersyukur karena daun-daun itu gugur, kalau tidak gugur pasti manusia tidak akan dapat pekerjaan. Kemudian saya modifikasi cerita tersebut dengan apa yang ada di pikiran saya kala itu. Setelah selesai, ada perintah untuk mengumpulkan cerpen untuk membuat "Antologi 'Bakso' Arema" yang digagas oleh Komunitas Malang Menulis untuk memperingati 1 tahun berdirinya komunitas tersebut. Dalam acara ulang tahun tersebut ada acara awarding dan Alhamdulilah, cerpen "aneh" ini menjadi cerpen terbaik.
Terima kasih sudah menikmati.